Rabu, 07 Oktober 2009

makalah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelanggarakan suatu system pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Selaras dengan pentingnya pendidikan bagi seluruh warga negara, Departemen Pendidikan Nasional berhasrat pada tahun 2025 akan menghasilkan “ Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif “ ( Insan Kamil / Insan Paripurna ). Untuk mewujudkan visi tersebut, Departemen Pendidikan Nasional menetapkan beberapa strategi dan program yang disusun berdasarkan skala prioritas yang lebih ditekankan kepada upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing keluaran pendidikan, serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pengelolaan pendidikan.

Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Dengan demikian, sekolah atau daerah sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan, pengelolaan pengalaman belajar, cara mengajar, dan menilai keberhasilan suatu proses belajar mengajar.

Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan adalah suatu proses pembelajaran melalui aktifitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan prilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi.

Olahraga merupakan bentuk lanjut dari bermain, dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keseharian manusia. Untuk dapat berolahraga secara benar, manusia perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Pendidikan jasmani diyakini dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk :

  1. Berpatisipasi secara teratur dalam kegiatan olahraga.
  2. Pemahaman dan penerapan konsep yang benar tentang aktivitas-aktivitas tersebut agar dapat melakukan secara aman.
  3. Pemahaman dan penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas-aktivitas tersebut agar terbentuk sikap dan prilaku sportif dan positif, emosi stabil, dan gaya hidup sehat.

Model pembelajaran Penjas yang kreatif dan inofatif sangat diperlukan guna memberikan nuansa dan warna baru bagi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran penjas yang berdampak pada meningkatnya minat peserta didik untuk mengikuti pembelajaran dengan menyenangkan.

Guna menunjang hal tersebut diatas penulis berupaya membuat model pembelajaran Aktifitas Permainan Olahraga dan Atletik khususnya Atletik cabang lompat tinggi dengan menggunakan pola pendekatan emosi.

Model pembelajaran ini setidaknya dapat membantu siswa khususnya siswa perempuan dalam mengatasi rasa ketakutannya mengikuti pembelajaran olahraga khususnya lompat tinggi. Dengan demikian model pembelajaran Aktifitas Permainan Olahraga dan Atletik khususnya Atletik cabang lompat tinggi dapat menyenangkan siswa sehingga tujuan pembelajaran tercapai.

B. Ruang Lingkup.

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang penulis angkat dalam makalah ini adalah :

  1. Bagaimana menyusun model pembelajaran lompat tinggi yang mengedepankan pada pola pendekatan emosi.
  2. Bagaimana menyusun / merancang arena bermain atletik yang mengarah pada lompat tinggi sehingga membangkitkan gairah siswa untuk melompat.

C. Tujuan.

Tujuan dari pembuatan model pembelajaran ini adalah :

  1. Membagi pengalaman kepada guru olahraga dalam mengatasi masalah kegiatan belajar mengajar olahraga Aktifitas Permainan Olahraga dan Atletik khususnya Atletik cabang lompat tinggi.
  2. Membantu kepada guru olahraga untuk menyusun arena bermain atletik yang dapat membangkitkan gairah siswa untuk mengikuti pembelajaran olahraga khususnya atletik sehingga proses pembelajaran berlangsung menyenangkan.

D. Manfaat.

Manfaat dari pembuatan model pembelajaran ini adalah :

  1. Membantu para guru olahraga Pendjas Orkes dalam kegiatan proses belajar mengajar Aktifitas Permainan Olahraga dan Atletik khususnya Atletik cabang lompat tinggi.
  2. Membangkitkan gairah siswa untuk mengikuti pembelajaran olahraga sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung menyenangkan.

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Diskripsi Teoretik

” Muhibbin Syah ”. Sebagian ahli menganggap perkembangan sebagai proses yang berbeda dari pertumbuhan. Menurut mereka, perkembangan itu tidak sama dengan tumbuh, begitupun sebaliknya. Perkembangan ialah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi organ-organ jasmaniah, bukan organ-organ jasmanihnya itu sendiri. Dengan kata lain, penekanan arti perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang disandang oleh organ-organ fisik.

Proses-proses perkembangan tersebut meliputi :

  1. Perkembangan motor ( motor development ), yakni proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan fisik anak ( motor skills ).
  2. perkembangan kognitif ( cognitive development ), yakni perkembangan fungsi intelektual atau proses perkembangan kemampuan/ kecerdasan otak anak; dan
  3. perkembangan sosial dan moral ( social and moral development ), yakni proses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara anak dalam berkomunikasi dengan obyek atau orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

Dalam psikologi, kata motor digunakan sebagai istilah yang menunjuk pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot dan gerakan-gerakannya, juga kelenjar-kelenjar dan sekresinya ( pengeluaran cairan/ getah bening ). Secara singkat, motor dapat pula dipahami sebagai segala keadaan yang meningkatkan atau menghasilkan stimulasi/ rangsangan terhadap kegiatan organ-organ fisik.

Belajar keterampilan fisik ( motor learning ) dianggap telah terjadi dalam diri seseorang apabila ia telah memperoleh kemampuan dan keterampilan yang melibatkan penggunaan tangan ( seperti menggambar ) dan tungkai ( seperti berlari ) secara baik dan benar. Untuk belajar memperoleh kemampuan keterampilan jasmani, ia tidak hanya cukup dengan latihan dan praketk, tetapi juga memerlukan kegiatan perceptual learning ( belajar berdasarkan pengamatan ) atau kegiatan sensori motor learning ( belajar keterampilan inderawi-jasmani).

Dalam kenyataan sehari-hari, cukup banyak keterampilan inderawi-jasmani yang rumit dan karenanya memerlukan upaya manipulasi ( penggunaan secara cermat ), koordinasi, dan organisasi rangkaian gerakan secara tepat. Demikian pula keterampilan mendemonstrasikan kecakapan praktis seperti olahraga membutuhkan proses ranah cipta. Proses aqliah ini dibutuhkan, karena kinerja jasmaniah ( physical performance ) dalam aktifitas olahraga akan bermutu baik apabila pelaksanaannya disertai dengan keterlibatan fungsi ranah cipta atau akal. Tanpa memperhatikan fungsi ranah cipta yang memadai, walaupun ia sudah biasa karena sering melakukannya, resiko kesalahan akan selalu mengancam.

Teori belajar sosial menekankan interaksi antara perilaku dan lingkungan yang memusatkan diri pada perilaku yang dikembangkan individu untuk menguasai lingkungan dan bukan pada dorongan naruli. Kita tidak didorong oleh kekuatan internal, dan tidak bereaksi pasif terhadap stimulasi eksternal. Jenis perilaku yang kita tunjukkan ikut menentukan ganjaran atau hukuman yang akan kita terima, dan pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi perilaku kita.

Pola perilaku dapat diperoleh melalui pengalaman langsung atau melalui pengamatan terhadap respon yang lain. Beberapa respon memberikan hasil yang menyenangkan, dan respon yang lain memberikan hasil yang tidak menyenangkan. Melalui proses pembelajaran penguat ( differential reinforcement ) ini, orang memilih pola perilaku yang memberikan hasil yang menyenangkan dan menolak perilaku yang lain. ( Rita L. Atkinson )

Bila kita mengalami emosi yang kuat, seperti misalnya rasa takut, kita akan menyadari adanya perubahan badani – detak jantung dan nafas yang cepat, tenggorongan dan mulut yang kering, ketegangan otot yang meningkat, keringat yang mengucur, kaki dan tangan yang gemetar, ” perasaan tertekan pada perut ”.

Jenis peningkatan keterbangkitan fisiologis yang telah diuraikan di atas merupakan karekteristik keadaan emosioanal ketika organisme harus mempersiapkan tindakan. Namun , jika timbul emosi seperti rasa sedih atau rasa duka, mungkin beberapa proses badani akan ditekan, atau menurun. William James, seorang pakar psikologis yang terkenal di Harvard pada akhir tahun 1800-an, yakin bahwa faktor yang penting dalam emosi yang kita rasakan adalah umpan balik dari perubahan badani yang terjadi sebagai respons terhadap situasi yang menakutkan atau membingungkan.

Dari dasar teori tersebut di atas, penulis mencoba membuat model pembelajaran dengan menggunkan pola pendekatan emosi pada materi lompat tinggi gaya stradlle.

Penulis berharap model pembelajaran ini memberikan nuansa baru bagi guru olahraga dalam melaksanakan pembelajran Atletik khususnya lompat tinggi sehingga emosi yang kuat ( rasa takut ) dalam diri siswa saat mempersiapkan tindakan melakukan lompat tinggi dapat terbantu dan siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan menyenangkan.

Tabel 1 : Efektifitas dan kecepatan siswa menangkap informasi

No

Aktifitas

Prosentase Daya Tangkap

1

2

3

4

5

Melihat (dengan bantuan alat peraga)

Mendengar ( ceramah )

Meraba

Membau / mencium

Merasakan

75 %

12 %

6 %

4 %

3 %

Jumlah

100 %

Berdasarkan penelitian Colleti tersebut maka dapat dilihat betapa pentingnya penggunaan alat peraga atau alat bantu pembelajaran untuk membantu siswa dalam memahami pokok-pokok materi yang diajarkan dibanding dengan cara pembelajaran melalui ceramah. Bila terpaksa alat peraga tidak ada maka perlu membuat / memodifikasi sendiri alat bantu.

Penyusunan model pembelajaran yang penulis gunakan untuk memahami pokok-pokok materi lompat tinggi adalah sebagai berikut :

  1. Menyusun silabus sesuai dengan standart kompetensi, kompetensi dasar dan indicator yang ada seperti pada lampiran 1.
  2. Membuat Rencana Pelaksaan Pembelajaran seperti pada lampiran 2.
  3. Merencanakan alat peraga antara lain :

4. Merancang penggunaan alat peraga.

B. Sintaksis Model Pembelajaran.

Sintaksis Model Pembelajaran lompat tinggi gaya Stradle yang mengedepankan pada pola pendekatan emosi yang diberikan dengan waktu 4 x 40 menit (2 kali pertemuan) tersusun sebagai berikut :

1. Pendahuluan .

Pada kegiatan pendahuluan / pemanasan siswa melakukan pemanasan dengan gerakan melompat-lompat atau gerakan pemanasan yang dilakukan mengarah pada gerakan lompat tinggi. Misal : siswa melakukan permainan lompat kardus secara bergantian perkelompok sesuai dengan kemampuannya. Pada kegiatan pendahuluan ini siswa diharapkan dapat memilih sendiri kelompok dan media yang akan dia lompati dengan bimbingan guru. Kelompok yang memiliki ketakutan tinggi melakukan lompatan menggunakan ban bekas yang kita jajar tiga dengan jarak yang sudah ditentukan oleh guru. Lompatan yang dilakukan tidak semata-mata, tetapi melaui proses permainan yang secara tidak langsung memaksa siswa untuk melompat.

2. Inti Pembelajaran .

Langkah – langkah yang penulis pakai dalam menyampaikan inti pembelajaran adalah :

  1. Kelompok yang sudah terbentuk pada saat melakukan pendahuluan pembejaran tadi selanjutnya menjadi kelompok pembelajaran inti sehingga memudahkan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.
  2. Dengan diawalai pengarahan dari guru yang menekankan pada gerakan lompat tinggi gaya straddle masing – masing kelompok melakukan lompatan dengan menggunakan karet yang dipegang oleh kedua temannya diujung secara bergantian dengan ketinggian awal disesuaikan dengan kondisi kelompok tersebut.
  3. Setelah masing – masing siswa melakukan lompatan 3 kali tanpa menyentuh karet, siswa tersebut disuruh melakukan lompatan diatas mistar yang sesunggunya dengan penataan mistar tidak horizontal tetapi miring. Pada saat siswa melakukan lompatan awal, siswa memilih sendiri tinggi mistar sesuai dengan kemampuannya dengan menggunakan gaya straddle yang benar.
  4. Setelah masing – masing siswa melakukan lompatan di atas mistar yang dipasang miring 3 kali tidak menyentuh mistar, barulah siswa melakukan lompatan dengan posisi mistar horizontal dengan gaya straddle yang benar.

3. Penutup .

Pada kegiatan akhir dari pembelajaran ini guru memberikan motifasi bahwa sebenarnya manusia itu memiliki kemampuan untuk melawan rasa takut yang ada pada diri sendiri dengan cara berani mencoba dan berusaha untuk bisa.

BAB III

PEMBAHASAN

Bertitik tolak pada model pembelajaran pola pendekatan emosi dengan cara berkelompok, akan dapat menjadikan para siswa berani melakukan lompat tinggi karena :

  1. Kelompok yang sudah terbentuk adalah pilihan siswa sendiri berdasarkan pada tingkat ketakutan dan kemampuan yang dimiliki dapat mempermudah guru dalam melakukan proses pembelajaran karena pada saat guru memberikan permainan atletik dengan menggunakan rintangan yang mengharuskan siswa untuk melompat, maka rintangan itu akan dibuat dan disesuaikan dengan kondisi kelompok tersebut.
  2. Permainan atletik yang diciptakan oleh guru cukup memberikan rangsangan kepada siswa untuk melakukan lompatan karena permainan tersebut didesain sedemikian rupa yang membuat siswa harus melompati rintangan yang ada. Semua rintangan dan penghalang dibuat dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi dan emosi siswa. Alat-alat permainan tersebut tidak menyebabkan timbulnya rasa takut, dan bila ( terpaksa ) harus membenturnya tidak akan menimbulkan sakit/luka. Dengan begitu siswa akan merasa senang dalam melakukan lompatan sehingga rasa ketakutan yang dimiliki akan hilang dan tujuan pembelajaran akan tercapai.

  1. Dengan tingkat kesulitan yang semakin lama semakin meningkat dan mengarah pada gerakan lompat tinggi gaya straddle, diharapkan dapat membantu siswa dalam membangun rasa percaya pada dirinya sendiri bahwa manusia sebenarnya mampu untuk memerangi rasa ketakutan itu dengan berani mencoba melakukan apa yang ditakutinya.
  2. Peralihan dari situasi bermain menuju ke situasi yang sesungguhnya dengan melakukan lompatan diatas mistar membuat siswa merasa tidak ada beban karena situasi lompat tinggi yang menggunakan mistar sesungguhnya dibuat dengan memasang mistar pada posisi miring sehingga siswa bisa memilih tinggi mistar sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian proses pembelajarannya akan berlangsung menyenangkan.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menyimpulkan :

  1. Model Pembelajaran dengan pola pendekatan emosi dapat membantu siswa mengurangi rasa takut sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan menyenangkan dan tujuannya tercapai.
  2. Pembuatan arena bermain yang mengharuskan siswa melakukan lompatan dapat merangsang siswa untuk melakukan lompatan tanpa merasa ada paksaan.
  3. Dengan meningkatkan tingkat kesulitan yang dilalui siswa pada permainan yang diciptakan dengan alat bantu yang tidak menyakitkan bila terjadi benturan, membuat siswa dapat melakukan lompat tinggi dengan menyenangkan sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik dan tujuan pembelajaran tercapai.

B. Implikasi.

Implikasi dari model pembelajaran tersebut adalah :

  1. Mengurangi rasa ketakutan siswa dalam mengikuti pembelajaran atletik khususnya lompat tinggi.
  2. Membantu guru dalam mencapai tujuan pembelajaran.
  3. Memberi rangsangan kepada siswa bahwa pembelajaran olahraga dapat berlangsung menyenangkan.
  4. Memotifasi siswa agar dapat menyalurkan potensi yang dimiliki.

C. Saran.

Kepada rekan – rekan guru diharapkan :

  1. Selalu meningkatkan dan mengembangkan diri dalam melakukan proses pembelajaran olahraga.
  2. Selalu aktif, kreatif dan inofatif dalam memberikan pengajaran kepada siswa.
  3. Model permainan atletik yang diciptakan dapat bervariasi sesuai dengan kondisi lingkungan dan daerah masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Aip Syarifuddin. 1997. Panduan Guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan 2. Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia.

BE. Handoko. 1986. Atletik. Bandung : Pionir jaya.

Colleti, A.B. 1987. Theaching Methods and Apllied Technique. New York: Keystone Pub. Inc.

Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.

Depdikbud. 2004. Garis-garis Besar Program Pengajaran Pendjaskes. Jakarta: Balai Pustaka.

Hans Katzenbogner/Michael Medler 1996. Buku – Pedoman Lomba Atletik. Jakarta : PASI.

Muhibbin Syah 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Rita L. Atkinson/Richard C. Atkinson 1983. Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga.

Roji 2004. Pendjas SMP Kelas VIII. Jakarta: Erlangga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar